Thursday, March 17, 2011

TEATER PAYUNG HITAM

foto  teater payung hitam
JAKARTA, 25/6 - TEATER PAYUNG HITAM. Aktor dari Teater Payung Hitam beraksi dalam teater bertajuk "Puisi Tubuh yang Runtuh" di Teater Salihara Jakarta, Jumat (25/6). Teater ini mengangkat pengalaman pribadi Rachman Sabur selaku sutradara yang mengidap penyakit stroke dengan mewujudkankan konflik karakter-karakter dalam khazanah Topeng Cirebon

Monday, March 7, 2011

Kunjungan Cinta Kota Seger





Inilah yang kami rasakan ketika bertemu langsung dengan pemilik teater koma, mereka menyambut dengan sepuluh jemari yang hangat, rombongan kecil dari timur sebut saja KOTA SEGER

kami diajak omong balk - blakan tentang teater koma oleh Nano Riantiarno

Adegan lakon "Kunjungan Cinta" yang akan digelar Teater Koma di di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, mulai 12 sampai

28 Januari 2007. [Foto: Istimewa]

Di usianya yang menginjak 30 tahun, Teater Koma menggelar sebuah lakon bertajuk Kunjungan Cinta. Produksi ke-111 ini disadur sang sutradara, Nano Riantiarno, dari karya dramawan Jerman, Friedrich Durrenmatt. Lakon itu akan dipentaskan selama 15 hari, mulai 12 sampai 28 Januari 2007 di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, mulai pukul 19.30 WIB setiap malamnya.

Menurut Nano, lakon itu merupakan sebuah tontonan komedi tragis yang sarat dengan gambaran situasi saat ini. Cerita yang dikisahkan dalam lakon ini bisa dengan mudah kita temui di masa sekarang.

"Durrenmatt menulis kisah ini tahun 1956, tapi apa yang dia gambarkan tentang suasana Jerman di zaman itu, ternyata juga dapat dilihat di Indonesia saat ini. Entah apakah itu terjadi lantaran Indonesia yang mandek atau Durrenmatt yang hebat dan memiliki visi ke depan?," ungkap Nano di Jakarta, Jumat (5/1) siang.

Bagi Nano, karya ini merupakan naskah terbagus dan terumit yang pernah dia temui sepanjang 30 tahun dia pernah menggarap berbagai naskah baik saduran dari luar atau karnya sendiri. Saking tertariknya dengan naskah ini, dia pun berusaha menampilkan lakon ini secara realis, tak jauh berbeda dengan versi aslinya yang berjudul Der Besuch der alten Dame (Kunjungan Nyonya Tua).

"Saya ingin memberikan gambaran yang sesuai dengan naskah aslinya, kalau pun ada pengembangan itu dilakukan berdasarkan naskah. Setting panggung, busana maupun properti pun, harus bisa mendukung semua itu," katanya.

Hal senada dikatakan Pimpinan Produksi Teater Koma, Ratna Riantiarno. Bahkan lantaran harus memenuhi keinginan sang sutradara, seluruh Teater Koma pun harus berburu barang-barang tua yang sudah sulit ditemui saat ini, seperti bungkus-bungkus rokok era 1930-an, cerutu-cerutu mahal, beras, gula batu, ribuan kuntum kembang seruni, kaleng-kaleng tahun 1930-an, dan lain-lain.

"Rumah yang juga menjadi sanggar Teater Koma pun kini dipenuhi oleh properti-properti itu, melebihi toko kelontong. Dan jangan ditanya kesulitan kami bagaimana dalam mencari barang-barang yang sudah tidak diproduksi itu. Kami sampai hunting ke mana-mana untuk mendapatkan barang-barang yang diinginkan sutradara," jelasnya seraya tertawa.

Mengubah Panggung

Kerumitan dalam menyiapkan properti seperti yang sesuai dengan naskah, juga dirasakan skenografer, Syaeful Anwar. Bahkan menurutnya kerumitan dalam menyiapkan tata panggung kali ini jauh lebih besar dibandingkan pementasan-pementasan sebelumnya. Pasalnya untuk setting panggung kali ini dilakukan penggantian set yang sangat banyak.

"Mas Nano mengharapkan setting panggungnya dibuat serealis mungkin sehingga sesuai dengan apa yang digambarkan Durrenmatt. Sutradara mengharapkan dalam skenografinya diangkat dua sisi tentang ketamakan dan kemiskinan. Di babak awal saya harus menampilkan setting panggung dengan gambaran sebuah kota yang bangkrut. Lalu di babak berikutnya setting harus diubah menjadi sebuah kota yang masyarakatnya semua kaya," tuturnya.

Menurut Syaeful, dalam pertunjukan seni teater di Indonesia sampai sekarang ini, belum pernah terjadi dalam satu pertunjukan dilakukan perubahan set dari miskin ke kaya. "Untuk mengubah sebuah kota yang miskin menjadi kota yang kaya, bukanlah perkara mudah," imbuhnya.

Selain diperkuat oleh pemain-pemain Teater Koma, pada pementasan kali ini, Nano menggandeng Butet Kartaredjasa sebagai pemeran utama pria. Bersama Ratna Riantiarno dia bermain sebagai pemeran kunci.

"Ini merupakan kerja sama saya yang ketiga dengan Teater Koma. Bagi saya hal ini merupakan kesempatan untuk belajar. Karena dalam memerankan lakon ini saya bisa belajar tentang semangat realis dari mas Nano. Ini merupakan ilmu yang sangat mahal," ungkap Butet.

Pentas yang didukung oleh 45 orang seniman ini mengisahkan tentang kunjungan seorang nyonya kaya bernama Klara Zakanasian yang diperankan oleh Ratna Riantiarno ke Kota Goela (baca: gula-Red).

Sebagai orang yang pernah tinggal di kota tersebut, Klara bersedia membantu agar Kota Goela tak bangkrut berlarut-larut. Sejumlah uang dia hibahkan agar roda perekonomian kota kembali berdenyut.

Tapi dalam bantuannya itu, Klara mengajukan satu syarat, yaitu meminta masyarakat membunuh satu warganya yang terhormat, Ilak Alipredi, yang diperankan oleh Butet Kartaredjasa.

Pilihan mana yang akan diambil oleh masyarakat Kota Goela? Membunuh demi gaya hidup sejahtera atau menolak pembunuhan tapi tetap miskin? Inilah drama komedi tragis yang juga merupakan sebuah "kaca bening" yang akan memandu kita agar sudi bercermin.